Facebook Gue

Rabu, 05 Oktober 2011

MAKALAH MEMBANGUN MINAT BACA MURID MELALUI OPTIMALISASI PERPUSTAKAAN SEKOLAH BERBASIS MASYARAKAT SEBAGAI SALAH SATU USAHA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN


               I.      Pendahuluan

1.1. Realitas Minat Baca
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan minat baca masyarakatnya masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil survei yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten. Di antaranya survei Internasional Associations for Evaluation of Educational (IEA) pada tahun 1992 menyebutkan kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar kelas IV Indonesia berada pada urutan ke-29 dari 30 negara di dunia, berada satu tingkat di atas Venezuella. Riset International Association for Evaluation of Educational Achievement (IAEEA) tahun 1996 menginformasikan bahwa melek baca siswa usia 9-14 tahun Indonesia berada pada urutan ke-41 dari 49 negara yang disurvei1. Data Bank Dunia tahun 1998 menginformasikan pula kebiasaan membaca anak-anak Indonesia berada pada level paling rendah (skor 51,7). Skor ini di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Singapura (74,0)2. Dalam tahun 1998-2001 hasil suveri IAEEA dari 35 negara, menginformasikan melek baca siswa Indonesia berada pada urutan yang terakhir. Publikasi IAEEA tanggal 28 November 2007 tentang minat baca dari dari 41 negara menginformasikan melek membaca siswa Indonesia selevel dengan negara belahan bagian selatan bersama Selandia Baru dan Afrika Selatan3.
Sedangkan BPS tahun 2006 mempublikasikan, membaca bagi masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan sebagai sumber utuk mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%) dan mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca (23,5%)4. Artinya, membaca untuk mendapatkan informasi baru dilakukan oleh 23,5% dari total penduduk Indonesia. Masyarakat lebih suka mendapatkan informasi dari televisi dan radio ketimbang membaca. Dengan data ini terbukti bahwa membaca belum menjadi kebutuhan bagi masyarakat.
Bahkan kalau dilihat dari data pengguna buku koleksi sumbangan dari PBB dan Bank Dunia sebagaimana di kelola oleh perpustaakaan nasional, semakin terlihat ketidak bergairahan membaca di negara ini. Dilaporkan dalam rentang tahun 1995 sampai tahun 1999, buku sumbangan tersebut hanya dibaca oleh 536 orang, dengan perincian pertahunnya sebagai berikut; tahun 1995 tercatat 161 pembaca, tahun 1996 tinggal 134 pembaca. Tahun berikutnya, 1997, turun lagi menjadi hanya 76 pembaca. Meski tahun 1998 sempat naik jadi 84 pembaca, tetapi tahun 1999 kembali turun menjadi 81 pembaca5.
Salah satu hasil suvei mikro yang dilakukan oleh Sumatera Barat Intelectual Society ( S.I.S ) tentang minat baca siswa SLTP di kota Padang, menunjukkan bahwa dari 100 orang siswa, 70% diantara membaca. Mereka membaca hanya kurang 1 jam dalam sehari6. Hal ini semakin memperjelas minat baca di kalangan siswa dan masyarakat di Indonesia sangat rendah dan jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Membaca belum menjadi proritas untuk mendapatkan ilmu dan informasi yang baru. Membaca masih menjadi kebutuhan pelengkap dan tidak dijadikan sebagai sebuah tradisi dalam kehidupan.

1.2. Dampak Yang Signifikan Dari Rendahnya Minat Baca

Rendahnya minat baca dikalangan siswa dan masyarakat Indonesia pada umumnya berpengaruh buruk terhadap kualitas pendidikan. Wajar, sudah lebih setengah abad bangsa Indonesia merdeka, permasalahan kualitas pendidikan masih berada dalam potret yang buram. Kualitas pendidikan bangsa Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangganya. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia7. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Hasil tes yang dilakukan Trends in Science Study (TIMSS) 2003 terhadap para siswa kelas II SLTP 50 negara di dunia, menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia berada di peringkat ke-36 dengan nilai rata-rata Internasional 4748. Hasil survey World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan yang rendah, yaitu pada tahun 1997 dari 49 negara yang diteliti Indonesia berada di urutan 39. Pada tahun 1999, dari 47 negara yang disurvei Indonesia berada pada urutan 46. Tahun 2002 dari 49 negara Indonesia berada pada urutan 47 dan pada tahun 2007 dari 55 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan yang ke 539.
Di samping itu, kualitas pendidikan tinggi Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Jika dilihat dari survei Times Higher Education Supplement (THES) 2006, perguruan tinggi Indonesia baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili oleh Universitas Indonesia, kualitas ini berada di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang menempati urutan 185. Kumudian pada tahun 2007 menurut survei THES dari 3000 unversitas di dunia, ITB baru berhasil berada pada urutan 927 dan sekaligus menjadi perguruan tinggi top di Indonesia.
Kualitas pendidikan yang rendah ini berimplikasi pada rendahnya kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola masa depan dan lambatnya kemiskinan teratasi. Rendahnya kemampuan sumberdaya manusia itu, dapat dilihat dari minimnya bangsa Indonesia melahirkan pelaku-pelaku ekonomi yang berdaya saing. Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia berada diurutan 138 dari 140 negara. Menurut Ciputra sampai hari ini bangsa Indonesia hanya baru mempunyai 0,18% pengusaha dari jumlah penduduk sedangkan syarat untuk menjadi negara maju minimal 2% dari jumlah penduduk harus ada pengusaha. Saat sekarang Singapur sudah mempunyai 5% dan Amerika Serikat 7% dari jumlah penduduk. Berdasarkan kondisi Indonesia sekarang ini maka Indonesia membutuhkan minamal 400 ribu pengusaha10. Pendidikan yang berkualitas sangat berperanan dalam melahirkan pengusaha-pengusaha tersebut.
Implikasi yang lain dari rendahnya kualitas pendidikan dapat dilihat dari Human Development Index (HDI) Indonesia yang rendah. Menurut laporan United Nation Development Programe/UNDP pada tahun 2007 dari 177 negara yang dipulikasikan HDI Indonesia berada pada urutan ke-107. Indonesia memperoleh indeks 0,728. Di kawasan ASEAN Indonesia menempati urutan ke-7 dari sembilan negara ASEAN. Peringkat teratas di ASEAN adalah Singapura dengan HDI 0,922, disusul Brunei Darussalam 0,894, Malaysia 0,811, Thailand 0,781, Filipina 0,771, dan Vietnam 0,733. Sedangkan Kamboja 0,598 dan Myanmar 0,583 berada di bawah HDI Indonesia.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia, secara langsung atau tidak langsung ikut memperpanjang angka kemiskinan di Indonesia. Menurut data BPS tahun 2007 di Indonesia orang miskin berjumlah 37,17 juta orang atau 16,58%. Namun, mengikuti standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia, maka jumlah orang miskin di Indonesia hampir 50% dari jumlah penduduk. Tidak kalah pentingnya, rendahnya sumber daya manusia terlihat dari angka pengangguran yang dikandung oleh negara ini. BPS mencatat angka pengangguran di Indonesia, sebagai berikut:



Tabel 1: Angka Pengangguran Menurut Golongan Umur Dan Jenis Kelamin di Indonesia

Golongan Umur
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
15 – 24
3,442,919
3,154,214
6,597,133
25 – 34
1,169,128
1,151,445
2,320,573
35 – 44
274,284
340,187
614,471
45 – 54
197,539
232,068
429,607
55 +
399,427
493,043
892,470
Jumlah
5,483,297
5,370,957
10,854,254
Jika dilihat dari tingkat pendidikan, maka pengangguran di Indonesia di dominasi oleh lulusan sekolah menengah atas (SMA) sebanyak 26.8% dan SMP 19.5%, sebagaimana terlihat pada tabel berikit ini:
Grafik 1: Pengguran Menurut Pendidikan di Indonesia


Tidak dapat dinafikan pula rendahnya kualitas sumber daya manusia ini akan berpengaruh negatif terhadap keefektifan dari pemerintah sebagai pengelola negara.
Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa rendahnya minat baca di negara ini ikut memicu kekerasan dan anarkhisme yang mementingkan kinerja otot daripada kinerja pikiran atau otak, karena otak yang tidak terasah cendrung melahirkan tindakan kurang pertimbangan dan dangkal analisis11.
Oleh sebab itu, meningkatnya kinerja penyelesaian masalah melalui kekerasan di Indonesia salah satu dipengaruhi oleh ketidakterasahan otak melalui membaca tersebut. Jepang sebagai negara maju, menyadari betul hal ini sehingga negara yang pernah hancur lebur dibom oleh Amerika dan sekutunya ini melakukan gerakan 20 Minutes Reading of Mother and Child, dimana seorang ibu harus mengajak anaknya membaca, minimal dua puluh menit sebelum si anak tidur. Kelly-Vance & Schreck menemukan bahwa minat baca anak akan meningkat jika diadakan kolaborasi pembinaan antara sekolah dan keluarga12.
Berdasarkan fakta dan data, maka sarana-sarana yang dapat meningkatkan minat baca perlu mendapat perhatian serius. Rendahnya minat baca telah terbukti berpengaruh terhadap analisis masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia lebih cendrung menyelesaikan masalah melalui kekuatan otot jika dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang didahului oleh analisis. Kekuatan analisis ini lebih banyak dipengaruhi oleh bacaan-bacaan yang dibaca.
Dalam konteks ini, perpustakaan sekolah harus mendapat perhatian dan pengelolaan yang profesional untuk membangun minat baca anak didik, sehingga melahirkan pendidikan yang berkualitas dan anak didik yang mampu beranalisis. Kemapuan analisis sangat dipengaruhi oleh membaca karena membaca dapat mengasah intelegensi, kecakapan berbahasa, berkomunikasi dan menulis 13.

            II.      KEGIATAN YANG HARUS DILAKUKAN DALAM MENGATASI RENDAHNYA MINAT BACA MASYARAKAT

2.1. Membedah Akar Permasalahan
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh minimnya fasilitas-fasilitas pendukung, seperti jumlah perpustakaan yang tidak sesuai dengan rasio jumlah penduduk. Sementara kehadiran televisi dan audiovisual lainnya begitu cepat dan inovatif, sehingga keadaan ini semakin meminggirkan tradisi baca di kalangan masyarakat Indonesia dan tidak heran pula saat ini di dalam masyarakat Indonesia sedang terjadi lompatan budaya dari budaya praliterer ke masa pacaliterer tanpa melalui masa literer, artinya melompat menjadi masyarakat yang senang menenton telivisi tanpa melalui budaya gemar membaca. Lompatan budaya ini berlaku dikalangan anak didik di Indonesia.
Dilihat dari segi jumlah perpustakaan umum sebagai salah satu tempat mendapatkan bahan bacaan masyarakat sampai saat sekarang jumlahnya hanya 2.585 perpustakaan. Jika dirasional dengan jumlah penduduk Indonesia, maka satu perpustakaan umum harus sanggup melayani 85 ribu penduduk14. Dari 64.000 desa di Indonesia, ternyata yang mempunyai perpustakaan hanya 22%. Sedangkan jumlah unit perpustakaan di berbagai departemen dan perusahaan, baru sekitar 31% yang mempunyai perpustakaan.
Keminiman bahan bacaan juga menjadi salah satu hambatan bagi masyarakat Indonesia menumbuhkan minat baca. Selanjutnya negara yang berjumlah 224 juta jiwa ini hanya mampu menerbitkan buku sebagai gudang ilmu pertahunnya sebanyak 10.000 judul pertahun. Jumlah ini tentu jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Cina dengan penduduk 1,3 miliar jiwa menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap tahun. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 judul buku, Malaysia dengan 26 juta jiwa menerbitkan 10.000 judul pertahunnya. Sedangkan jumlah surat kabar pun juga mempunyai jumlah yang terbatas dengan rasio satu surat kabar dibaca oleh 45 orang. Rasio ini masih di bawah Philippina 1: 30 dan Srilangka 1:3815.
Rendahnya minat baca dikalangan siswa tidak dapat dipungkiri pula akibat dari perpustakaan sekolah yang tidak mencukupi dan memadai. Hal ini terlihat dari 110 ribu sekolah yang ada di Indonesia teridentifikasi hanya 18% yang mempunyai perpustakaan16. Dari 200 ribu unit sekolah dasar di Indonesia cuma 20 ribu yang memiliki perpustakaan standar. Demikian pula dengan SLTP, dari 70 ribu unit SLTP, cuma 36% yang memenuhi standar. Untuk SMU, cuma 54 % yang punya perpustakaan berkualitas standar. Kemudian untuk perguruan tinggi, dari 4 ribu perguruan tinggi di Indonesia, cuma 60 % yang memenuhi standar. Sedangkan dari sekitar 1.000 instansi, diperkirakan baru 80% sampai 90% yang memiliki perpustakaan dengan kualitas standar17. Sedangkan Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional menyebutkan dari 3000 jumlah SD dan SLTP di Indonesia hanya baru 5 % yang memiliki perpustakaan18.
Dari data tersebut, sekolah di Indonesia sangat sedikit sekali memfasilitasi perpsutakaan sebagai sarana yang meyakinkan terhadap pentingnya ilmu pengetahuan. Perpsutakaan belum dijadikan sebagai gudang ilmu yang sangat menunjang terhadap kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan, sehingga perpsutakaan sekolah belum diperhatikan dan belum ditilik secara serius. Pengembangan perpustakaan masih berada dalam konstelasi biaya yang rendah, bahkan pihak sekolah tidak memaknai perpustakaan sebagai sarana yang penting untuk dikembangnkan ke arah yang lebih maju dan profesional.
Perpustakaan sekolah yang tidak terkelola dengan profesional telah memperpanjang keburaman dunia pendidikan di Indonesia. Oleh sebab itu potret buram dunia pendidikan di Indonesia tidak lagi dipengaruhi oleh rendahnya anggran pendidikan di samping kurang dan tidak meratanya guru di Indonesia tetapi dipengaruhi pula oleh terbatasnya jumlah sarana yang dapat membangun minat baca anak didik, bahkan dari data di atas terlihat adanya peminggiran atau pemarjinalan eksistensi perpustakaan sekolah dalam ruang lingkup institusi pendidikan. Perpustakaan sekolah masih dianggap sebagai komponen yang kurang bermakna dalam dunia pendidikan, sehingga perpustakaan sekolah tidak menjadi bahagian yang terpenting dikembangkan di lingkungan pendidikan dasar dan menengah.




2.2. Pemecahan Masalah
2.2.1. Membangun Perpustakaan Sekolah Berbasis Masyarakat
Giddens dalam The Third Way merekomendasikan, pendidikan yang berkualitas merupaan syarat mutlak untuk mencapai kemajuan di era global19. Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas diperlukan perangkat dan pendukung pendidikan yang lengkap dan maju. Lebih jauh lagi kalau perlu dilakukan institutional revolution seperti yang disarankan oleh Illich20. Illich meyakinkan bahwa untuk memajukan sumber daya manusia, institusi pendidikan harus membangun profesionalitas. Pencapaian profesionalitas itu diperlukan peran serta banyak komponen dan kecerdasan orang yang mengelola institusi tersebut.
Perpustakaan sekolah sebagai salah satu piranti yang ikut mencerdasakan anak didik, tidak dapat diabaikan keberadaannya. Sudang saatnya perpustakaan sekolah dibangun dengan pengelolaan yang profesional dan tidak lagi dijadikan sebagai tumpukan buka paket, tetapi sudah saatnya dijadikan sebagai institusi modern yang disenangi untuk dikunjungi oleh anak didik. Pihak sekolah harus melihat perpustakaan dengan visi yang profesional dan modern.
Pihak sekolah sudah saatnya mempunyai strategi dalam pengembangan perpsutakaan sekolah. Pengembangan perpustakaan sekolah tidak hanya terfokus pada anggaran yang dialokasikan pemerintah tetapi dapat dilakukan dengan program berbasis masyarakat. Jika pihak sekolah masih terfokus pada anggaran biaya yang dialokasikan pemerintah dalam pengembangan perpustakaan sekolah, maka sekolah yang akan mempunyai perpustakaan yang representatif dimasa akan datang dapat dihitung dengan jari. Masalahnya, jika dilihat dari anggaran untuk pendidikan, negara ini mempunyai anggaran pendidikan yang rendah. Walaupun sudah dirancangn 20% daripada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tetap saja rendah jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan negara tetangga Malaysia, Thailand dan Myanmar. Di Malaysia anggaran pendidikan 25% dari APBN negara, Thailand 30 persen, dan Myanmar 18 persen21. Bahkan kebijakan anggaran pendidikan yang disepakati 20% ini, belum pula terlaksana sepenuhnya. Malahan dalam anggaran tahun 2008, terjadi pengurangan anggaran pendidikan yang mengejutkan. Semula menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008, pos untuk pendidikan sebesar Rp 49,7 triliun. Namun berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-1/Mk.02/2008 pada 2 Januari 2008, terjadi penyusutan anggaran 15 persen. Dengan demikian anggaran pendidikan pada APBN 2008 jika dikurangi hingga 15 persen hanya tingga Rp 42,3 triliun. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun 2007 yang berjumlah Rp 44,1 triliun22.
Pada anggaran tahun 2008 ini pula penyediaan bantuan pengembangan perpustakaan dan minat baca juga mengalami pengurangan yang signifikan, semula dianggarkan sekitar Rp 41 miliar kemudian dipotong separuh. Pada mulanya dana itu akan digunakan untuk bantuan rintisan dan penguatan taman bacaan masyarakat di 33 provinsi dengan target sekitar 2.250 lembaga. Akibat penyustan anggaran ini maka pengadaan untuk 143 taman bacaan masyarakat layanan khusus bersifat mobile atau bergerak tidak akan dapat dilaksanakan. Pembangunan perpustakaan dan sumber belajar untuk pendidikan dasar juga mengalami pemotongan Rp 30 miliar. Padahal, berdasarkan data Depdiknas sampai akhir tahun 2007, jumlah perpustakaan sekolah masih sangat minim. Di Indonesia hanya 27,6 persen sekolah dasar yang memiliki perpustakaan23.
Pengurangan anggraran ini secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pengelolaan dan pengembangan perpustakaan. Jika pengembangan perpustakaan sekolah bertahan dengan anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah, jelas perpustakaan sekolah bernasib tidak akan berubah dan keberadaannya tidak akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan bangsa yang tengah terpuruk di era global ini. Dalam konteks ini sudah seharusnya pihak sekolah melakukan usaha alternatif untuk mengembangkan perpustakaan sekolah sehingga sekolah mempunyai perpustakaan yang berkembang secara terus menerus.
Sehubungan dengan itu, diperlukan pengelola sekolah yang cerdas dan mampu mengupdate institusi pendidikan dalam kondisi bagaimana pun, sekali pun anggaran biaya perpustakaan masih kecil dialokasikan oleh pemerintah. Osborne dan Geablermemaparkan kecerdasan pengelola institusi tersebut yang sangat diperlukan untuk mencapai kemajuan dalam era sekarang. Institusi yang dikelola oleh orang-orang cerdas akan terus berkembang dan bisa menghadapi rintangan24. Pada era otonomi daerah saran Osborne dan Geabler tersebut bergema di negara ini kemudian diikuti dengan penggiatan gerakan berbasis masyarakat, sehingga masyarakat tidak lagi dianggap sebagai objek pembangunan belaka tetapi lebih penting dari itu masyarakat sebagai subjek dari pembangunan. Dalam konteks ini partisipasi masyarakat harus dibangun untuk pengembangan sumber daya manusia.
Perpustakaan sekolah dapat dikembangkan dengan program pemberdayaan masyarakat. Pihak sekolah perlu menggagas dengan cerdas strategi tersebut. Pengembangan perpustakaan berbasis masyarakat, dapat dilakukan dengan berbagi cara, tidak mesti bentuk dan programnya sama pada setiap sekolah. Pengembangan perpustakaan sekolah berbasis masyarakat, minimal akan dapat menyelesaikan permasalahan koleksi buku yang terbatas dan fasilitas perpustakaan sekolah yang sangat minim. Kedua hal ini menjadi persoalan yang paling mendasar dihadapi oleh perpustakaan sekolah dan sekaligus persoalan yang paling dominan diseluruh perpustakaan sekolah.



1. Pengembangan Sarana Koleksi Buku

Sesungguhnya yang terjadi sekarang ini di perpustakaan sekolah adalah, koleksi buku yang tidak mencukupi. Perpustakaan sekolah hanya diisi oleh buku-buku paket, sehingga perpustakaan sekolah hanya sebagai gudang atau tempat penyimpangan buku paket tersebut. Akibatnya, perpustakaan sekolah tidak akrab dengan anak didik. Kondisi ini pula yang menyebabkan perpustakaan sekolah tidak mempunyai hubungan yang signifikan untuk peningkatan kualitas pendidikan25.
Kondisi ini terjadi sebagai akibat, pihak sekolah tidak mempunyai inovasi dan strategisasi dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Pihak sekolah telah terbiasa dengan kondisi perpustakaan sekolah sebagai gudang buku paket, sehingga membaca tidak menjadi tradisi dikalangan anak didik, akhirnya yang berlangsung secara terusmenerus adalah sistem pembelajaran CBSA (catat buku siswa aman), sekalipun sistem pembelajaran telah dirubah berkali-kali. Hal ini berarti pihak sekolah belum mampu membangkitkan minat baca anak didik. Ketidakmampuan pihak sekolah dalam membangun minat baca ini berarti pihak sekolah membiarkan otak anak didik kelaparan26. Di samping itu ikut memperpanjang catatan buram pendidikan sehingga bangsa ini sulit untuk bangkit menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Untuk membangun perpustakaan sekolah yang dapat memicu minat baca anak didik, koleksi buku perpustakaan harus di update dan ditambah secara terus menerus. Perpustakaan sekolah tidak hanya diisi dengan buku paket, tetapi juga diisi dengan bahan bacaan lain, baik fiksi maupun berupa non fiksi.
Bahan bacaan yang tersedia sangat mempengarihi terhadap keberhasilan sebuah perpustakaan mewujudkan minat baca. Keragaman dan kelengkapan koleksi bahan bacaan, merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan eksistensi perpustakaan sekolah sebagai pemacu minat baca, karena koleksi bacaan adalah daya tarik yang sangat pontensial bagi sebuah perpustakaan untuk menarik kunjungan, bahkan dapat memabangun tradisi membaca. Pengaruh koleksi bacaan terhadap tradisi membaca ini dapat dilihat dalam gambar berikut ini;

Gambar 1: Pengaruh Koleksi Perpustakaan Terhadap Kebiasaan Membaca

Chevron: Koleksi              Bacaan
 













2. Pengembangan Fasilitas Perpustakaan

Permasalahan lain yang dihadapi perpustakaan sekolah sekarang ini adalah, masalah fasilitas perpustakaan yang belum lengkap atau yang belum sesuai dengan standar sebuah perpustakaan. Fasilitas perpustakaan pada dasarnya dapat merubah image perpustakaan yang selama ini dipadang sebagai gudang buku yang tidak menyenangkan.
Negara-negara yang konsisten dalam peningkatan kualitas pendidikan, perpustakaannya sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas, sehingga perpustakaan tidak lagi sebagai gudang buku tetapi sudah menjadi sebuah institusi yang mempunyai multifungsi, sehingga tidak mengherankan perpustakaan sudah menjadi tempat bermain dan tempat rekreasi27. Sehubungan dengan itu, mengapa di negara kita perpustakaan tidak banyak dikunjungi oleh masyarakat, salah satu penyebabnya adalah fasilitas perpustakaan masih didominasi oleh koleksi buku. Bahkan fasilitas ruang baca perpustakaan masih sumpek dan belum memberikan kenyamanan.
Belum tercapainya tujuan perpustakaan sekolah membangun minat baca anak didik diantaranya diakibatkan oleh faktor fasilitas ini pula. Perpustakaan sekolah masih beroperasional dengan fasilitas yang minim, bahkan hanya berisi buku-buku paket saja, sehingga persepsi tentang perpustakaan belum berubah di kalangan anak didik, bahkan di kalangan masyarakat Indonesia perpustakaan masih dipandang sebagai gedung buku yang membosankan.
Belum banyak pihak yang mempunyai kepedulian yang signifikan untuk membangun fasilitas perpustakaan yang memadai tersebut. Bahkan perpustakaan nasional sekalipun masih mengandalkan buku sebagai alat meningkatkan minat baca28. Kondisi ini jelas ketinggalan zaman, dan tidak relevan dalam konteks sekarang. Perpustakaan sudah saatnya dilengkapi dengan berbagai fasilitas, termasuk fasilitas ruangan baca yang terkesan rilek dan tidak menegangkan. Fasilitas pepustakaan juga sudah berbasis teknologi. Koleksi ilmu pengetahuan tidak lagi dalam bentuk buku dan kertas tetapi telah tersedia dalam berbagai sarana teknologi seperti CD dan data online yang sangat mudah diakses.
Fasilitas perpustakaan sekolah yang terbatas itu kenyataannya telah mengakibatkan lambatnya tercapai fungi perpustakaan sebagai sebagai pembangun minat baca anak didik. Keterbatasan fasilitas ini pada umumnya dialami oleh setiap perpustakaan sekolah. Oleh sebab itu, untuk mengatasi kendala dan keterbatasan sarana dan fasilitas ini sudah saat dirancang perpustakaan sekolah yang berbasis masyarakat oleh pihak sekolah.

2.2.2. Membangun Strategi Peran Serta Masyarakat

Pengembangan perpustakaan sekolah tidak dapat menunggu kucuran dana dari pemerintah saja. Pengembangan perpustakaan sekolah sudah saatnya dilakukan dengan konsep kerjasama yang terpadau antara masyarakat dan pihak sekolah, sehingga perpustakaan sekolah tumbuh dan berkembang secara ideal dan memenuhi strandar. Masalahnya, keterlambatan pengembangan perpustakaan sekolah merupakan salah satu faktor yang menghambat terwujudnya pendidikan yang berkualitas.
Pengembangan perpustakaan sekolah, dapat dilakukan dengan membangun jaringan kerjasama dengan masyarakat luas. Paling sedikit dapat dilakukan dengan penjaringan kerjasama melalui ikatan orang tua siswa, filantropi, menjaring aktivitas wakaf buku, alumni, siswa dan lain sebagainya. Pengembangan perpustakaan sekolah berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama pihak sekolah dengan masyarakat luas, setidaknya melakukan kerjasama seperti dalam gambar berikut ini;




 















Gambar di atas merekomendasikan bahwa dalam pengembangan perpustakaan sekolah minimal ada jalinan kerjasama dengan masyarakat. Jalinan kerjasama ini, diarahkan untuk memperoleh peningkatan sumber daya perpustakaan berupa buku sebagai koleksi perpustakaan dan fasilitas yang berpotensi untuk mewujudkan sebuah perpustakaan sekolah yang ideal atau memenuhi standar, sehingga keberadaan perpustakaan dapat dihandalkan untuk meningkatkan minat baca.

1. Peranan Ikatan Orang Tua Murid

Dalam pegembangan perpustakaan sekolah, pihak sekolah dapat melakukan kerjasama dengan orang tua murid, minamal kerjasama dalam pengayaan koleksi buku perpustakaan. Orang tua murid dapat dijadikan basis penggiat untuk menambah koleksi buku dengan dua kemungkinan, pertama orang tua murid menjadi penyumbang buku melalui kesadarannya sendiri, artinya orang tua murid harus mengeluarkan biaya sesuai dengan kemampuannya untuk menambah koleksi buku. Kedua orang tua murid melakukan kegiatan yang dapat mengumpulkan sejumlah bahan bacaan melalui peran serta masyarakat luas. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk peranan orang tua terhadap pendidikan dan minat baca anak29. Rendahnya kualitas pendidikan dan minat baca anak Indonesia salah satu faktornya juga sangat dipengaruhi oleh kecilnya peranan. Sementara pihak sekolah tidak melakukan pendekatan yang efesien terhadap orang tua. Untuk membangun perpustakaan sekolah yang berorientasi masa depan dan modern, maka pihak sekolah seharusnya membangun pendekatan dan kerjasama yang intensif dengan orang tua murid. Ikatan orang tua murid merupakan aset yang potensial jika pihak sekolah mampu melakukan pendekatan.

2. Menggalang Kerjasama dengan filantropi

Pengembangan perpustakaan sekolah juga dapat dilakukan melalui pendekatan filantropi. Pihak sekolah dapat menjaring kerjasama dengan donatur atau filantropi untuk mengembangkan perpustakaan. Filantropi dapat perorang, perusahaan, yayasan dan lain sebagainya. Selama ini pihak sekolah terkesan belum banyak melakukan pendekatan kepada filantropi, karena arah pengembangan pendidikan masih dominan ditumpukan kepada anggaran yang diberikan pemerintah. Perspektif serba anggaran ini yang harus dirubah oleh pihak sekolah dalam pengembangan sebuah institusi30.
Di negara-negara maju, majunya sebuah institusi pendidikan tidak terlepas daripada peranan dari filantropi ini. Misalnya, Oxford University berkembang dan maju menjadi universitas nomor satu dunia sangat dipengaruhi oleh besarnya peranserta filantropi ini. Oleh sebab itu, sekolah harus dipimpin dan dikelola orang-orang yang mempunyai visi yang maju dan mampu membangun strategi yang luas dalam mengembangkan sekolah yang berkualitas dan mempunyai perpustakaan yang dapat dijadikan basis peningkatan minat baca anak didik.
Dari peranan filantropi ini, perpustakaan sekolah dapat melengkapi sarana prasarana perpustakaan, sehingga perpustakaan sekolah tidak lagi menjadi gudang buku paket, tetapi menjadi taman belajar dan gedung tempat membaca yang menyenangkan bagi anak didik. Filantropi harus dijadi agent penyumbang peningkatan saranaperpustakaan sekolah. Sumbangan filantropi ini dapat diarahkan untuk pengembangan koleksi buku dan sarana yang membangun perpustakaan berbasis teknologi, sehingga diperpustakaan sekolah mempunyai sarana komputer, wifi dan saran informasi teknologi komunikasi.

3. Menjaring aktivitas wakaf buku

Untuk pengembangan koleksi buku perpustakaan sekolah, sudah saatnya pihak sekolah menjaring aktivitas wakaf buku. Di Indonesia, banyak penerbit yang melakukan kegiatan wakaf buku. Bahkan para penulis dan akademisi yang menulis buku melakukan kegiatan wakaf buku. Oleh sebab itu, kegiatan wakaf buku ini harus dijaring oleh pihak sekolah untuk menambah koleksi buku-buku perpustakaan sekolah.
Di samping itu, gerakan wakaf buku di negeri ini sudah seharusnya pula menyalurkan buku-buku wakaf tersebut untuk kepentingan perpustakaan sekolah, karena perpustakaan sekolah pada umumnya di Indonesia mengalami keterbatasan koleksi buku sebagai bahan bacaan. Hal ini dapat dilihat dari koleksi buku perpustakaan yang sangat didominasi oleh buku-buku paket, bahkan buku paket tersebut sudah ketinggalan dari edisi-edisi buku paket yang terus bergulir berubah sesuai dengan rancangan kurikulum. Oleh sebab itu pihak sekolah harus menjaring kegiatan wakaf buku ini untuk pengembangan koleksi buku perpustakaan.

4. Peranserta alumni

Alumni mempunyai peranan penting dalam kemajuan pendidikan. Alumni dapat dijadikan sebagai wadah yang berpotensi untuk mewujudkan perpustakaan sekolah yang maju. Pada umumnya sekolah mempunyai ikatan alumni, organisasi ini adalah aset bagi sekolah untuk mengembangkan sarana pendidikan dan perpustakaan sekolah. Pengembangan perpustakaan sekolah sudah semestinya menjadi salah satu pusat perhatian bagi alumni. Namun, perhatian itu belum banyak menjadi fokus dari program alumni, karena perpustakaan masih dianggap menjadi pelengkap dan bulum dianggap sebagai sebuah institusi penting dalam pendidikan. Dalam konteks pengembangan perpustakaan sekolah berbasis masyarakat ini pihak sekolah sudah seharusnya merancang kerjasama dengan alumni, sehingga keberadaan perpustakaan sekolah dapat diharapkan meningkatkan kualitas pendidikan.





5. Peranserta anak didik

Peran serta anak didik dalam pengembangan perpustakaan sekolah sangat penting sekali. Anak didik dapat menjadi jembatan penghubung sekolah pada masyarakat untuk mendapatkan peranan masyarakat dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Dalam dunia pendidikan, anak didik tidak lagi dianggap sebagai objek pendidikan belaka tetapi juga sebagai subjek dari pendidikan. Oleh sebab itu peranannya dalam pengembangan pendidikan sangat memainkan peranan penting, terutama dalam pengembangan perpustakaan sekolah ini.
Organisasi siswa dapat menjadi penggerak pengembangan perpustakaan sekolah. Untuk itu, organisasi siswa dapat diarahkan dan bekerjasama dengan pihak pengelola sekolah untuk mengembangkan perpustakaan sekolah kearah yang lebih maju dan modern. Permasalahannya, pihak sekolah dan anak didik belum melakukan komitmen untuk mengembangkan perpustakaan sekolah, karena stigma perpustakaan perpustakaan sekolah masih dianggap sebagai pelengkap saja.

III. Dampak Optimalisasi Perpustakaan Sekolah Bebasis Masyarakat

Tidak dapat dinafikan, bahwa untuk peningkatan kualitas pendidikan dan sekaligus untuk mendukung kegiatan proses belajar mengajar keberadaan perpustakaan yang modern dan profesional sangat memainkan peranan penting, kerena perpustakaan sekolah adalah agent pembangun minat baca sekaligus pembangun aktivitas kreatif dari anak didik. Bahkan menurut McClelland perpsutakaan sekolah yang modern dan mempunyai fasilitas yang lengkap merupakan virus atau stimulus kemajuan bagi anak didik. Perpustakaan mernjadi pendorong anak didik untuk maju dan mempunyai sumber daya yang berkualitas31.
Perpustakaan sekolah juga sebagai alternatif bagi siswa untuk mengisi kegiatan pengisi waktu luang selama di sekolah. Diprediksikan perpustakaan sekolah yang profesional akan dapat mengatasi kekerasan dikalangan anak didik. Terjadinya kekerasan dikalangan siswa akhir-akhir ini salah satu diakibatkan oleh sekolah tindakmempunyai sarana yang dapat membangun kreativitas anak didik pada waktu-waktu luang. Oleh sebab itu, perpustakaan sekolah sebagai salah satu alternatif untuk membangun kreativitas anak didik ke arah yang lebih positif. Dengan adanya perpustakaan sekolah yang memadai, pihak sekolah juga dapat membuat gerakan gemar membaca, misalnya gerakan membaca 10 minit selama berada di lingkungan sekolah sehingga dengan gerakan ini anak didik secara tidak langsung akan menjadikan perpustakaan sebagai tempat kegiatan tersebut32.
Dengan demikian, keberadaan perpustakaan sekolah yang modren dan profesional sudah menjadi kebutuhan dalam peningkatan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia. Peranserta masyarakat luas sangat diperlukan untuk pengembangan perpustakaan sekolah ini, karena dalam konteks modern perpustakaan sekolah tidak hanya sebagai institusi ilmu pengetahuan saja tetapi juga sebagai institusi yang dapat membangun kreativifitas anak didik ke arah yang lebih berguna dan bermanfaat.

3.1 Merubah Stigma Gudang Buku Menjadi Institusi Pengetahuan Yang Menyenangkan

Keterlambatan pengelolaan perpustakaan sekolah di negara ini berdampak sangat buruk terhadap perspektif perpustakaan. Perpustakaan masih dominan dipandang sebagai gedung buku yang membosankan. Image ini dapat dirubah dengan mengotimalkan pengembangan perpustakaan yang berbasis masyarakat, karena melalui peran serta masyarakat perpustakaan sekolah dapat membangun koleksi buku dan peningkatan sarana dan prasarana perpustakaan yang mendukung.
Pengoptimalan perpustakaan berbasis masyarakat jelas diiringi dengan pengelolaan perpustakaan sekolah yang profesional dan modern oleh pihak sekolah. Tidak optimalnya peranan perpustakaan sekolah sangat ditentukan pula oleh pengelolaan perpustakaan sekolah yang belum profesional, sehingga perpustakaan sekolah tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pengelolaan perpustakaansekolah yang profesional, akan berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat atau anak didik terhadap perpustakaan.
Perubahan stigma perpustakaan yang dipandang sebagai gudang buku yang tidak menyenangkan minimal ada dua usaha yang dilakukan oleh pihak perpustakaan sekolah, yaitu; pertama perpustakaan dikelola secara profesional dan kedua perpustakaan dikembangkan dengan fasilitas yang memadai. Kedua hal ini sangat diperlukan untuk pengembangan perpustakaan sekolah pada era sekarang ini, karena pada umumnya perpustakaan sekolah banyak yang tidak diurus oleh pustakawan yang profesional dan tidak mempunyai fasilitas yang lengkap.
Dalam konteks pengembangan perpustakaan sekolah berbasis masyarakat ini kedua hal tersebut akan dapat mengubah stigma perpustakaan sekolah yang sudah terlanjur dipandang sebagai gudang buku oleh anak didik atau oleh pihak sekolah itu sendiri. Perpustakaan sekolah sudah harus menjadi tempat bermain dan belajar yang menyenangkan bagi anak didik, sehingga perpustakaan sekolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas anak didik. Di samping itu juga menjadi alternatif tempat mengisi kegiatan diwaktu luang bagi anak didik.

2.3.2. Merubah Sistem Tradisional ke Modernis

Salah satu faktor yang mempengaruhi terlambatnya perkembangan perpustakaan baik umum maupun sekolah di Indonesia adalah sistem pengelolaan perpustakaan yang belum berubah. Perpsutakaan masih dikelola dengan serba manual dan belum disentuh oleh teknologi. Salah satu contoh yang sangat sederhana dapat dilihat dari pangkalan data yang belum terkelola dengan baik melalui teknologi, sehingga perpustakaan kesulitan memberikan informasi koleksi. Hal ini berdampak terhadap ketidaknyamanan bagi pemanfaat perpustakaan dan sekaligus sangat berpotensi terhadap kehilangan koleksi perpustakaan.
Di samping itu, ruang perpustakaan belum tertata dengan menyenangkan dan masih dominan sebagai susunan buku. Ruang baca perpustakaan belum mempunyai fasilita-fasilita yang dapat memberikan kenyaman bagi pengunjung. Tata ruang bacaan masih belum menjadi fakus perhatian untuk dibenahi oleh pengelola perpustakaan. Pada hal, suasana ruang bacaan sangat mempengaruhi terhadap kenyaman bagi pihak pengguna perpustakaan. Ruang baca perpustakaan yang nyaman menjadi stimulus atauransangan bagi pengunjung perpustakaan untuk menjadikan perpustakaan sebagai pengisi waktu luang.
Selain dari itu, koleksi perpustakaan sekolah belum dilakukan pemodernisasian dan penteknologian. Koleksi perpustakaan masih buku dan belum banyak ditambah dengan bahan-bahan elektronik. Koleksi buku-buku tersebut juga masih didominasi oleh buku-buku ilmu ilmiah. Pada hal, dalam sebuah perpustakaan seluruh bahan bacaan adalah koleksi dari perpustakaan tersebut, tidak hanya berupa buku-buku ilmiah. Salah satu tujuan membangun perpustakaan sekolah berbasis masyarakat adalah untuk memperbaiki pengelolaan dan sarana perpustakaan tersebut. Masalahnya, jika pengelolaan perpustakaan sekolah ditumpukan pada anggaran keuangan pemerintah maka untuk 20 tahun kedepan kondisi perpustakaan sekolah belum akan mengalami perubahan yang berarti. Oleh sebab itu pengembangan perpsutakaan sekolah sudah seharusnya dilakukan dengan rancangan berbasis masyarakat, karena bagaimana pun juga pendidikan bukanlah tanggungjawab pemerintah saja, tetapi menjadi tanggungjawab bersama. Begitu pula dengan perpustakaan sekolah harus menjadi tanggungjawab bersama, sehingga perpustakaan sekolah dapat diharapkan meningkatkan minat baca yang akan mempercepat peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini.

3.3. Manfaat dan Dampak Perpustakan Sekolah Bebasis Masyarakat

Keterlambatan pengembangan pendidikan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh kecilnya peran serta masyarakat dalam menunjang pendidikan di samping tidak memadainya dana pendidikan yang dianggarkan oleh pemerintah. Dampak yang signifikan dari rendahnya anggaran pendidikan ini adalah minimnya sarana yang mendukung kualitas pendidikan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan perpustakaan disetiap institusi pendidikan. Hampir sekolah-sekolah di Indonesia tidak memiliki perpustkaan yang berkualitas standar. Kondisi perpustakaan sekolah di Indonesia yang morat marit masih sulit diharapkan sebagai sarana meningkatkan melek membaca siswa. Sementara di negara-negara maju dan beberapa negara tentangga sudah beralih pada melek informasi dan teknologi. Rendahnya melek membaca tersebut sebagai hambatan dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Rendahnya anggaran biaya pendidikan juga mempunyai dampak tidak baik terhadap peningkatan kualitas dan keprofesional guru. Anggaran pendidikan yang rendah menjadi salah satu faktor terhambatnya kreatifitas guru, sehingga kecakapan dan ketarampilan guru yang diharapkan sebagai peningkat kualitas pendidikan tidak dapat dihandalkan. Menurut analisis Chief Section for Teacher Education Division UNESCO, Caroline Pontefract, pada tahun 2015 tenaga guru yang akan dibutuhkan oleh negara-negara E-9 (Cina, India, Indonesia, Brasil, Mesir, Bangladesh, Pakistan, Meksiko, dan Nigeria) mencapai 18 juta orang. Guru-guru ini harus mempunyai pendidikan formal minimal strata satu. Oleh sebab itu fokus konfrensi tingkat tinggi (KTT) menteri pendidikan sembilan negara berpenduduk terbesar di dunia pada tanggal 10 – 12 Maret 2008 yang lalu di Bali mempertegas masalah peningkatan kualitas pendidikan guru ini. Pendidikan guru sangat menetukan terhadap kualitas pendidikan. Hasil penelitian Hattie menemukan bahwa mutu pembelajaran sangat ditentukan oleh pendidikan guru, sebanyak 63% pendidikan guru menyumbangkan pada kualitas pendidikan jika dibandingkan dengan variabel lainnya di sekolah35. Oleh sebab itu, untuk mencapai pendidikan yang berkualitas pendidikan guru harus menjadi salah satu komponen yang mesti diperhatikan. Untuk mencapai guru yang profesional, sangat tergantung pada kemampuan perpustakaan sekolah memfasilitasi bahan-bahan ajar yang dibutuhkan oleh guru dalam mengembangkan sumber dayanya.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan era global sekarang rofesionalitas dan pendidikan guru tidak dapat diabaikan, karena pendidikan harus diolah dan disajikan dengan profesional yang dapat menjawab tantangan zaman. Pendidikan tidak dapat disajikan dengan instanisasi atau dengan apa adanya, pendidikan harus disajikan dengan profesionalitas. Oleh sebab itu, perangkat dan atribut-atribut sarana pendidikan harus mendukung untuk peningkatan kualitas tersebut. Tidak dapat dinafikan, rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia diakibatkan oleh fasilitas pendidikan yang tidak lengkap untuk mendukung kinerja guru dalam mengembangkan bahan ajar terhadap anak didik. Satu hal lagi yang masih minin sebagai sarana penunjang kualitas pendidikan di Indonesia adalah, masalah ketersediaan sarana informasi komunikasi dan teknologi (ICT) yang sangat terbatas. Sarana ICT masih dilihat sebagai sarana yangmewah dan belum dijadikan sebagai sarana penunjang pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa ketersdiaan ICT di sekolah berpengaruh yang sangat signifikan terhadap inovati dan kreatifitas siswa dan sekaligus dapat mengurangi angka putus sekolah. Sekolah yang mempunyai ITC di Canada mampu menekan angka putus sekolah sebanyak 4%36. Perpustakaan sekolah yang lengkap akan dapt mengatasi permasalahan ITC di dunia pendidikan.
Keberadaan perpustakaan sekolah yang profesional dan maju dengan basis masyarakat salah satunya bertujuan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi oleh dunia pendidikan tersebut. Kualitas guru yang rendah jika ditunjang dengan perpustakaan yang memadai jelas akan mengurangi keterpurukkan kualitas pendidikan. Begitu pula dengan keterbatasan ITC, jika perpustakaan sekolah mempunyai fasilitas ini maka ke gagapan teknologi dikalangan anak didik juga akan dapat ditanggulangi.
Perpustakaan sekolah yang lengkap juga dapat menekan mahalnya biaya sekolah, karena kelengkapan perpustakaan sekolah dapat menjembatani mahalnya buku-buku yang diperlukan anak didik untuk mendukung kelancaran proses belajar mengajar. Hal ini jelas mengurangi beban orang tua dalam biaya pendidikan anak-anaknya, karena salah satu faktor mahalnya biaya pendidikan diakibatkan oleh biaya pembelian buku-buku tersebut, sehingga biaya pendidikan yang tinggi ini yang menyebabkan banyaknya anak-anak putus sekolah.
Pada tahun 2008, meningkatnya biaya hidup sementara pendapatan masyarakat masih tetap diprediksikan jumlah anak putus sekolah akan mengalami peningkatan dan mereka tidak bisa menyelesaikan kegiatan pendidikan sembilan tahun. Jika hal ini dibiarkan maka dimasa yang akan datang akan muncul generasi-generasi yang mempunyai sumber daya manusia yang rendah.
Di Indonesia banyak anak-anak yang putus sekolah akibat beban biaya pendidikan ini. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat jumlah anak putus sekolah di Indonesia mencapai 4,18 juta. Dampak yang paling signifikan dari anak-anak putus sekolah adalah rawanannya mereka dieksplotasi dan diperdagangkan. Keadaan ini bisa dilihat dari jumlah pekerja anak yang selalu meningkat di Indonesia. Hal ini terlihat dari hasil penelitian ILO bahwa sebanyak 19% anak yang dibawah usia15 tahun yang tidak bersekolah telah memasuki berbagai dunia kerja37. Tidak mengherankan diantaranya tereksplotasi dan termasuk diperdagangkan. Di samping itu tidak dapat dinafikan pula, mereka terjerat dalam praktek-praktek perdangan manusia untuk berbagai kepentingan. Menurut Aris Merdeka Sirait Sekretaris Jenderal Komnas Anak, sekitar 200 sampai 300 anak perempuan berusia di bawah 18 tahun di Indonesia yang putus sekolah telah diperjual belikan untuk memenuhi kebutuhan industri seks38. Sebuah resiko yang sangat fenomelogis, jika dunia pendidikan tidak diberi keringatan dengan melengkapi fasilitas-fasilitas sekolah. Peranan perpustakaan sekolah yang berbasis masyarakat salah satunya untuk meredam tingginya angka putus sekolah ini. Anak didik yang tidak dapat membeli buku dapat mengaksesnya di perpustakaan sekolah, sehingga beban keuangan untuk membeli buku dapat dihindari.
Keberadaan perpustakaan sekolah yang memadai, juga dapat membantu terhadap terlaksananya pencapaian daripada kurikulum pendidikan. Dalam konteks ini, kurikulum pendidikan tidak dapat dipandang remeh temeh dalam mentransformasimanusia Indonesia. Kurikulum merupakan kompas yang membimbing kearah mana pendidikan ini di bawa. Kurikulum pula yang mengeset sejauh sumber daya manusia berubah dari ketidakberdayaan menjadi berdaya, dari tidak berkualitas menjadi berkualitas, dari terbelakang menjadi maju, dari bermental keropos menjadi bermental kuat, dari dehumanis menjadi humanis, dari ranah miskin menjadi ranah berkesejahteraan dan seterusnya. Pendidikan merupakan alat yang membebaskan keterbelakangan dan ketidak berdayaan dalam peradaban.
Dengan demikian tidak dapat dinafikan, bahwa pendidikan sebagai soko guru dalam mewujudkan peradaban manusia, bahkan menjadi faktor penting dalam membangun civil society yang tengah direkonstruksi masyarakat dunia sekarang. Hal ini pun telah diyakinkan oleh Ibn Khaldun dalam Muqadimmah yang menumatal. Pendidikan sarana yang membebaskan terbelengguan peradaban dari keterbelakangan dan ketidakadilan. Pendidikan menpunyai dominasi yang mencerahkan. Tujuan kurikulum yang demikian itu tidak akan dapat terlaksana dengan baik, jika tidak ditopang atau didukung oleh kelengkapan sarana bacaan yang ada di sekolah.
Perpustakaan sekolah mempunyai peranan penting dalam membantu terlaksananya tujuan dari kurukulum sekolah tersebut. Hal ini terbukti, dari hasil penelitian yang dilakukan di sebuah SD River Oaks di Oaksville, Ontario, Canada. Perpsutakaan telah dijadikan sebagai basis pendukung untuk pencapaian tujuan yang diharapkan dari kurikulum, sehingga perpustakaannya dilengkapi dengan jaringan komputer beragaman program seperti ensiklopedia dalam bentuk cetakan dan CD-ROM, referensinya disimpan di dalam disket video interktif dan CD-ROM yang sangat mudah diakses anak didik39.
Keberadaan perpsutakaan sekolah yang mempunyai kelengkapan fasilitas, juga akan dapat dijadikan sebagai basis pembelajaran e-learning, yang akan meningkatkan kelancaran proses belajar mengajar. Secara signifikan, e-learning dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan membantu peran guru secara luas. E-learning diakui dapat meningkatkan kemampuan anak didik, membantu peran guru secara luas dan membangun sekolah yang mempunyai inovasi dan teknologi, seperti yang terlihat pada gambar berikut ini:


















         III.      Kesimpulan
Untuk menyelamatkan pendidikan anak bangsa dan dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga dapat mempunyai daya saing maka perlu digagas pendidikan berbasis partisipasi, salah satu yang perlu digagas dengan program pemberdayaan masyarakat itu adalah pengembanganperpustakaan sekolah. Masalahnya, keterbatasan anggaran pendidikan dan semakin melebarnya angka kemiskinan maka pengelolaan dunia pendidikan harus dilakukan dengan terobosan dan strategisasi yang cerdas sehingga pendidikan anak bangsa tetap berjalan dengan maksimal.
Rendahnya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi terhadap kualitas pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan dapat berbagai bentuk, tidak hanya dalam pembiayaan tetapi juga dapat menumbuhkembangkan sarana-sarana yang dapat menunjang pendidikan. Dalam konteks sekarang ini partisipasi masyarakat terhadap pendidikan sangat luas sekali, karena dunia pendidikan di Indonesia sedang mengalami pesakitan. Minimal masyarakat dapat membantu meningkatkan minat baca siswa melalui pengembangan perpustakaan sekolah. Minat baca siswa di Indonsia masih rendah jika dibandingkan negara tetangga. Rendahnya minat baca itu ternyata berpengaruh terhadap kualitas pendidikan.
Minat baca yang rendah sebagai akibat dari perpustakaan sebagai sarana utama yang mendukung anak didik untuk membaca jumlahnya ternyata sangat memprihatinkan dan ada sekolah belum mempunyai perpustakaan. Keberdaaan perpustakaan sekolah masih banyak menjadi gudang penyimpan buku paket dan sangat sedikit sekali perpustakaan sekolah yang memenuhi kriteria perpustakaan yang standar. Hal ini terlihat dari koleksi buku, fasilitas dan pengelolaan perpustakaan sekolah yang masih tebatas dan belum profesional. Perpustakaan sekolah yang belum profesional ini, secara langsung ikut memperlambat peningkatan kualitas pendidikan.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh perpustakaan sekolah ini, pihak sekolah dapat membuat strategi dan program yang cerdas, sehingga pengembangan perpustakaan tidak hanya ditumpukan pada anggaran biaya yang dialokasikan oleh pemerintah. Salah satu program yang dapat dirancang adalah mengembangkan perpustakaan sekolah berbasis masyarakat.
Pengembangan perpustakaan sekolah berbasis masyarakat bertujuan menjaring kerjasama dengan masyarakat luas untuk membangun perpustakaan sekolah yang dapat dijadikan sebagai sarana yang memainkan peranan penting dalam peningkatan minat baca. Keberhasilan perpustakaan sekolah meningkatkan minat baca secara langsung akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Oleh sebab itu, keberadaanperpustakaan sekolah yang memenuhi standar dan yang berorientasi modern dalam era globalisasi sekarang ini sudah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk itu peran masyarakat luas perlu dijaring untuk mewujudkan perpustakaan sekolah yang modern dan memenuhi standarisasi tersebut.
Perpustakaan sekolah yang memenuhi standarisasi dan mempunyai fasilitas yang lengkap, selain dapat meningkatkan minat baca juga dapat dijadikan sebagai penopang terhadap keterbatasan-keterbatasan yang terjadi dalam proses belajar mengajar. Bahkan dapat mengatasi angka putus sekolah. Oleh sebab itu, perpustakaan yang dibenahi secara maksimal tidak hanya berdampak terhadap meningkatnya minat baca tetapi juga berpengaruh terhadap maksimalisasi proses belajar mengajar.





V. Saran

Sehubungan dengan kondisi perpsutakaan sekolah di Indonesia yang belum memadai dan masih mempunyai beragam problem, sehingga dengan kondisi yang dengan demikian perpsutakaan sekolah ini belum mampu meningkatkan minat baca dan kualitas pendidikan, maka di akhir tulisan ini ada beberapa saran yang dikemukakan guna mengatasi kondisi perpustakaan sekolah yang masih terbelakng tersebut, diantara saran itu adalah:
1. Kepada pihak sekolah, sudah semestinya melakukan pembaharuan pengembangan dan pengelololaan perpustakaan sekolah dengan membuat strategisasi berbasis masyarakat, sehingga pengembangan perpustakaan sekolah berkelanjutan. Tidak semata-mata bergantung pada anggaran pemerintah. Untuk itu pihak sekolah harus merancang program dan strategi pembangunan perpustakaan sekolah berbasis masyarakat dengan menjaring keikutsertaan masyarakat. Penjaringan keikutsertaan masyarakat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya menjalin kerjasama dengan filantropi, membuat gerakan wakaf buku, kerjasama dengan alumni dan sebagainya.
2. Kepada pemerintah, baik daerah maupun pusat sudah semestinya memberikan anggaran yang jelas dan berkelanjutan untuk pengembangan perpustakaan sekolah. Perpsutakaan sekolah tidak semestinya lagi dipadang sebelah mata, atau sebagai pelengkap penderita dari pendidikan, tetapi sudah saatnya dijadikan salah satu basis peningkatan kualitas pendidikan. Pemerintah harus melihat perpsutakaan sekolah sebagai komponen penting dalam membangun kualitas pendidikan. Oleh sebab itu pemerintah harus mempunyai kebijakan untuk mengalokasikan dana dalam pengembangan perpustakaan sekolah, sehingga perpustakaan sekolah dapat dihandalkan untuk meningkatkan minat baca yang bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan.
3. Departemen Pendidikan Nasional sebagai departemen yang paling bertanggungjawab dalam membangun pendidikan di negara ini, harus melakukan kebijakan dimana disetiap sekolah wajib mempunyai perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah tersebut wajib dibuka setiap hari untuk melayani kepentingan murid, sehingga perpustakaan sekolah dapat meningkatkan minat baca.
4. Kepada lembaga-lembaga sosial, atau filantropi sudah saatnya melakukan kegiatan sosialnya untuk membantu pengembangan perpustakaan sekolah di Indonesia ini. Kegiatan wakaf buku harus digalakkan untuk membantu kemajuan perpustakaan sekolah.












Daftar Pustaka

Association for Evaluation of Educational Achievement (IAEEA) 28 Noveber 2007.
Burns, Susan. 1998. Starting Out Right. t.tmpt. t.t
Ciputra, 2008. Menjadi Pengusaha Tanpa Modal. Sekolah Pascasarjana UGM. Yogyakarta.
Giddens, Anthony. 2000. The Third Way. Jakarta. PT. Gramedia.
http://www.e-dukasi.net/artikel.php?id=30
http://www.idp-europe.org/eenet/newsletter4_indonesia/page42.php
Illich, I. 1969. Celebration of awerness: A call for institutional revolution. USA. Pantheon Books.
Laporan World Bank Tahun 1998.
Laporan Association for Evaluation of Educational Achievement (IAEEA) dari tahun 1996-1998.
Laporan Association for Evaluation of Educational Achievement (IAEEA) 28 Noveber 2007.
Mayo, M. 2005. Global citizens social movement & the challenge of globalization. Zed Books. London.
McClelland. 1961. The echieving Society. Van Nostrand Company. USA
Osborne dan Gealbert dalam Giddens, Anthony. 2000. The Third Way. Jakarta. PT. Gramedia






























1 komentar:

  1. We specialize in the design, fabrication, set up, and maintenance of heating, ventilation, and air-con duct techniques, along with different customized sheet metallic products. Creating an extruded hole using a punching process requires excessive pressure/Force. Extruded holes very near the half edge can result in sheet metallic deformation or tearing. Therefore the minimum distance between the extruded hole to edge is maintained. The really helpful minimum distance between two hole centers in sheet metallic design must be equal to the sum of hole radius plus two times the sheet Bluetooth Headsets thickness.

    BalasHapus